Aku tak mengenakan baju. Kandang itu tak berpintu. Angin meniup keras. Salju masuk ke dalam, dan bertengger di punggungku. Kurasa, hal seperti ini tak terdapat dalam buku. Aku tertelungkup di lantai, yang terbuat dari batu-batu bulat. Wajahku berbantalkan tahi lembu, yang baunya tak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Lenganku kumasukkan dalam-dalam ke liang peranakan. Kakiku meraba-raba di antara batu mencari tumpuan, karena lembu itu terus-menerus menggeliat. Tubuhku penuh salju yang bercampur kotoran serta darah kering, karena aku hanya memakai celana. Di luar lingkaran nyala lampu, aku tidak dapat melihat sesuatu. Lampu minyak itu dipegang oleh petani pemilik lembu. Nyalanya tidak begitu terang dan berasap.
Hal berikut ini juga tak terdapat dalam buku. Misalnya tentang mencari tali dan alat-alat di dalam gelap. Tentang berusaha tetap bersih dengan air kotor setengah ember. Tentang batu-batu* bulat yang menekan dada. Tentang lengan yang lambat laun membeku. Tentang otot-otot yang sedikit demi sedikit menjadi lumpuh, waktu jariku berusaha keras melawan dorongan kuat dari dalam lembu. Tentang rasa lelah dan rasa putus asa yang makin lama makin berat. Tentang suara panik yang melengking-lengking jauh di dalam hatiku. Ini pun tak disebut-sebut dalam buku!
Aku teringat sebuah gambar dalam buku ilmu kebidanan. Seekor lembu sedang berdiri di tengah-tengah lantai yang mengkilat. Dokter hewan mengenakan mantel bidan yang putih bersih. Ia memasukkan tangannya ke dalam lembu, dari jarak yang cukup sopan. Ia tampak santai dan tersenyum. Petani dan pembantunya juga tersenyum. Bahkan lembunya juga tersenyum. Tak ada kotoran, darah, atau keringat.
Dokter dalam gambar itu baru saja selesai makan hidangan yang lezat. Kemudian ia pergi ke rumah sebelah, untuk menolong lembu beranak. Tugas ini dikerjakan dengan senang hati, seolah-olah suatu hiburan belaka. Ia tak perlu meninggalkan tempat tidur pada pukul dua malam, sambil merangkak-rangkak kedinginan. Ia tak perlu naik mobil sejauh dua belas mil, terbanting-banting di jalan penuh salju. Ia tak perlu meregang-regangkan matanya yang mengantuk, untuk mencari-cari rumah petani di tempat yang terpencil. Ia tak perlu memanjat lereng bukit yang tertutup salju sejauh setengah mil, untuk mencapai tujuannya, ialah kandang tak berpintu, tempat pasiennya berbaring.
Seorang dosen membacakan opening dari bab 1 sebuah buku. Kemudian beliau berkata,"Setiap kelompok bertugas menterjemahkan 1 bab dari buku 'ALL THE CREATURES GREAT AND SMALL' karangan James Herriot ya.."
Itulah pertama kali saya mengenal seorang tokoh yang bernama James Herriot. Saat itu saya adalah mahasiswa semester 1 Fakultas Kedokteran Hewan UGM,dan dosen yang membacakan kisah tadi adalah dosen mata kuliah Ilmu Budaya Dasar (IBD).
Dosen IBD tersebut merupakan dosen yang cerdas, walaupun dosen saya tersebut bukanlah seorang dokter hewan, namun beliau berusaha menanamkan mental dasar murid-muridnya yang nantinya akan menjadi dokter hewan menggunakan media sebuah buku yang memang mengisahkan tentang keseharian seorang dokter hewan.
Sayang sekali pada saat itu saya berkenalan dengan Mr.James Herriot hanya 1 bab saja (sesuai dengan tugas kelompok),namun tokoh James Herriot tersebut begitu melekat di benak saya,dan saat itu juga saya berkata kepada diri saya,"Suatu hari nanti,saya akan menjadi seperti James Herriot."
Jakarta, 2008
Suatu hari saya sedang main ke kost rekan saya,dan kebetulan di kamarnya ada buku Andrea Hirata yang berjudul Laskar Pelangi. Berhubung saya adalah kaum pembaca buku non modal, maka saya pinjemlah buku beliau.
Dalam buku Andrea Hirata itulah saya menemukan idola lama saya.. Wah,,ternyata idola saya dan A Ling sama.. A Ling ternyata kenal ma James Herriot juga.
FYI: saat itu adalah awal saya meretas karier berpraktek di Jakarta,sebuah kesempatan bagi saya untuk menjadi seperti James Herriot.
Hal yang paling saya sayangkan dalam film Laskar Pelangi adalah penghilangan unsur James Herriot di dalamnya,padahal menurut saya James Herriot dan Edensornya adalah sesuatu yang terus menjadi benang merah antara Ikal dan A Ling.. sayang sekali hal tersebut dihilangkan.. =(
Yogyakarta, 31 desember 2010
Suatu hari menjelang malam tahun baru,saya dan rekan saya yang sama-sama baru pulang kampung bingung mo ngapain. Berhubung bioskop pilemnya jelek-jelek, dan malam pergantian tahun masih beberapa jam, maka kami memutuskan untuk liat-liat buku di toko buku Toga Mas, yang memang terkenal sebagai toko buku yang banyak diskonan. Sesampainya di toko tersebut, tanpa sengaja saya melihat sebuah buku berwarna biru berjudul "James Herriot Dog Stories". Wow....Idola saya!! Bungkuuuuuusssss......
Padahal sebenernya saya tidak punya rencana untuk belanja buku,tapi gandheng ada buku James Herriot,langsung saya beli. Kebetulan sudah bertahun-tahun saya mencari-cari buku James Herriot baik yang berupa hardcopy maupun ebook,,tapi ga dapet-dapet. Mana kebetulan lagi ada diskon,,jadi saya bisa membeli buku ini hanya dengan 55 rebong saja [perhitungan khas simbok-simbok pasar].
The best thing is, dengan 55 rebong niy, saya bisa tertawa-tawa cekikikan di dalam pesawat selama perjalanan pulang ke Jakarta, n hal tersebut berhasil membuat mas-mas yang duduk di samping berpikiran bahwa saya agak kurang satu setrip, soalnya ketawa-ketawa sendirian. =D
Jakarta, Maret 2011
James herriot selalu ada dalam setiap fase perjalanan karier saya. Dari seorang mahasiswa culun sampai akhirnya benar-benar menjadi seorang praktisi, James Herriot wannabe... Yah,,that's me..
Di saat saya sedang mengalami kegagalan atau diremehkan dalam pekerjaan saya, kutipan dari buku James Herriot lah yang mengingatkan saya, bahwa menjadi dokter hewan memang ditakdirkan untuk tampak mahatolol dalam beberapa kejadian, dan yang paling penting adalah KETOLOLAN ITU PASTI TERJADI PADA SETIAP DOKTER HEWAN, so do not worry apabila dalam suatu kejadian kita mengalami suatu kegagalan.
Hidup kita selalu berwarna, itulah yang menjadi jaminan dalam profesi ini. Profesi ini sama sekali tidak menjanjikan uang berkarung-karung, namun profesi ini menjanjikan kehidupan yang berwarna dan dinamis setiap harinya.
Thank u Mr. Herriot..
[NOTE : versi .html buku If Only They Can Talk bisa dibaca disini,, thanks to drh.Wikrama]
0 comments:
Posting Komentar