3 Kota 3 Tilang ~ "I'm just a leaf,not a flower"
3 Kota 3 Tilang | "I'm just a leaf,not a flower"

Senin, 31 Oktober 2011

3 Kota 3 Tilang

Surabaya, 2007

Pagi itu, saya beserta tim survey AI dari Kutilang baru saja sampai di Wonorejo, Surabaya. Kami sampai disana sekitar pukul 6 pagi. Seperti yang sudah-sudah, untuk bertahan hidup selama 10 hari disana, tentu saja kami membutuhkan logistik [baca: snack, kopi, batere, dll] yang biasa dibeli di supermarket. Dengan mantab dan heroik, saya dan rekan saya Akbar menawarkan diri untuk membeli jajanan logistik tersebut. Setelah cuci muka dan gosok gigi, tanpa mandi dan hanya bercelana pendek motif doreng kesayangan kami, berangkatlah kami dengan sotoy padahal ga tau jalan menuju supermarket Giant di mall terdekat [saya lupa nama mallnya]. Sesampai disana kami mengambil barang-barang yang ada di dalam belanjaan, dan di akhir sebelum membayar ke kasir, Akbar mengambil sebotol Mixmax Vodka rasa Blueberry yang tentu saja itu di luar dari daftar belanjaann

Setelah saya membayar barang-barang yang ada di daftar belanjaan, dan Akbar membayar Mixmax-nya, kami pulang berboncengan naik sepeda motor sambil membawa barang-barang belanjaan yang menyesaki motor kami. Sepanjang perjalanan kami mengobrol seru sambil ketawa-ketiwi sampai-sampai kami tidak menyadari kalo ternyata kami melewati operasi lalu lintas [baca: cegatan], yang ternyata di kiri-kanan kami sudah banyak polisi dan di depan kami banyak kendaraan dihentikan untuk diminta tunjukkan SIM dan STNK. Mampuuusssssss deh pikir kami, karena FYI si Akbar [yang berada di depan] tidak memiliki SIM. Akbar spontan mengomando saya untuk menyiapkan SIM saya [saya cuma membonceng] untuk diserahkan ke polisi.

Akhirnya ada seorang bapak polisi mencegat kami dan meminta SIM dan STNK. Akbar pun menyerahkan STNK dan SIM saya kepada bapak itu. Namun bapak polisi itu menolak SIM saya dan tetap meminta SIM Akbar [ya iya laaaahhhhhh], dan menyuruh kami menepi. Setelah kami menepi, saya duduk berjongkok di trotoar dan Akbar tampak bernegosiasi dengan bapak polisi itu. Entah apa yang dibicarakan, tiba-tiba Akbar menghampiri saya sambil berkata, " Duwe 20 ewunan ura??" [punya 20 ribuan nggak?? .red].
Saya mengaduk-aduk isi kantong saya dan akhirnya saya temukan beberapa lembar uang, "Eneke 15 ewu Bar.." [adanya 20 ribu Bar.. .red]
"Wes ben ura popo, 10 ewu wae." [Ya udah gpp, 10 ribu aja. .com] kata Akbar sambil mengambil uang 10 ribuan dari saya dan kembali bernegosiasi dengan bapak polisi tersebut.
Entah bagaimana percakapannya, akhirnya motor kami dibebaskan dan kami bisa lolos dari bapak polisi tersebut. Di perjalanan pulang, akhirnya saya yang memboncengkan Akbar, yah biarpun berat, tapi daripada kena cegatan lagi bookk.. (--") Dan di perjalanan pulang tersebut, Akbar bercerita bahwa sebenarnya bapak polisi tersebut meminta uang 25 ribu untuk "jalan damai", tapi lalu Akbar menawarnya hingga tercapai kesepakatan 20 ribu, TAPI gandheng kami punyanya cuma 15 ribu, dan Akbar mengatakan kepada polisi tersebut bahwa dia hanya memiliki 10 ribu, akhirnya bapak polisi tersebut pasrah juga sehingga dia mengambil uang 10 ribu dari Akbar dan membebaskan kami. =)))


**********


Yogyakarta, 2007

Sebulan berselang dari "petualangan" Akbar dan saya di Wonorejo, saya dan rekan saya yang lain. Nia berboncengan dari rumah saya menuju kampus kami di FKH UGM. Kebetulan pada saat itu mbak Nia yang memboncengkan saya. Saat di perempatan Gondomanan, lampu lalulintas menunjukkan warna hijau, namun pengatur waktu menunjukkan hanya tinggal beberapa detik saja. Suatu hal yang membimbangkan, karena kalo mo dikebut dan diterobos, nanti lampu pengatur sudah menunjukkan merah, tapi kalo tidak diterobos males lama nunggunya. Dengan semangat 45, saya menyemangati mbak Nia untuk menerobos lampu hijau yang pengaturan waktunya menunjukkan angka 0, area abu-abu antara kami melanggar lampu lalu merah atau tidak, dan mbak Nia melakukan sesuai petunjuk saya yang tanpa kami sadari ternyata kami melanggar lampu merah. Kebetulan di sebelah kami ada juga motor yang melakukan hal yang sama, sehingga kami tenang-tenang saja melanjutkan perjalanan kami. TAPIIIIII..... sekitar 200 meter dari TKP kami melanggar lampu merah, tiba-tiba di sebelah kami ada mas-mas polisi mengendarai motor dan menyuruh kami menepi. Tentu saja kami berdua kaget, dan dengan pasrah menuruti permintaan mas polisi tadi. Secara singkat mas polisi menjelaskan kalo kami telah melanggar lampu merah dan meminta SIM dan STNK mbak Nia, dan menyuruh kami mengikutinya kembali ke pos-nya di prapatan Gondomanan untuk mendapatkan tilang.

Kami berdua menuruti mas polisi tersebut, dan sambil ngakak-ngakak sekaligus jengkel berbincang-bincang sepanjang perjalanan menuju pos polisi tersebut. Sesampainya disana, mas polisi menyuruh kami duduk dan mengeluarkan buku peraturan dan menjelaskan kalo kami telah melanggar peraturan tentang lampu lalu lintas. Mas polisi juga bertanya kepada kami, "Ini mau kemana Dik??". "DIK", suatu kata yang sangat menohok bagi kami. Secara pada saat itu saya berusia 24 tahun dan mbak Nia berusia 25 tahun, sedangkan mas polisi itu tampak bagaikan polisi yang baru lulus dari pendidikannya. Jadi secara legal kemungkinan kami lebih tua daripada beliau. (--")
Kami pun menjawab, "Mau ke kampus, Pak".
Kemudian mas polisi itu menasehati kami berdua agar lebih berhati-hati dalam mengendarai motor dan kami pun mangut-mangut bagaikan anak-anak SMP yang sedang dinasehati oleh bapak gurunya. Setelah itu mas polisi mengeluarkan surat tilang dan menulis nama mbak Nia dan menahan SIM mbak Nia. Yeah, this was all happen just because semangat 45 yang saya berikan ke mbak Nia. Benar-benar sial si mbak Nia gara-gara memboncengkan saya. =D

Beberapa minggu setelah kejadian ini, mbak Nia dan saya pergi ke pengadilan negeri untuk menebus SIM mbak Nia. Dan mbak Nia pun akhirnya menghadiri sidang pertamanya, sedangkan karena saya pernah mengalaminya sebelumnya dengan kasus yang sama, jadi ini pengalaman kedua saya. =D


**********


Bandung, 2009

2 tahun berlalu setelah kejadian dengan mbak Nia dan mas polisi. Mbak Nia sudah tinggal dan bekerja di Bandung pada tahun itu. Hari itu, saya menemani rekan saya, Yudi berpetualang dari Jakarta menuju Bandung demi mencari seekor anjing husky yang akan berjodoh dengannya. Karena mbak Nia juga tinggal di Bandung, jadi kami meminjam motor beliau untuk berkeliling kota Bandung dalam rangka pencarian jodoh tersebut. Seperti biasa saya menjadi orang yang diboncengkan, dan kami pun dengan berbekal peta denah dari mbak Nia berhasil menemukan anjing kecil yang bernama Hercules Von Sinar a.k.a Brino yang nantinya  akan menjadi sumber cerita petualangan yang tiada habisnya.

Setelah bernegosiasi dengan pemilik induk si Brino, saya dan mas Yudi kemudian berboncengan menyusuri jalan-jalan di Bandung dengan sotoy dalam rangka berjalan-jalan sekaligus mencari sesuap nasi untuk mengisi perut kami. Pada saat kami melewati jalan yang entah apa dan dimana, karena kami berada in the middle of nowhere, dengan sialnya kami bertemu dengan cegatan polisi. Setelah kami menepi karena dicegat bapak polisi, pak polisi kemudian mengatakan sesuatu, "*()$^(*^$*^$*$*&$$*&@T"
[suatu salam sapaan dan perkataan dalam bahasa sunda yang kemungkinan meminta SIM dan STNK kami] dan membuat kami berdua plonga-plongo karena tidak mengerti yang dia bicarakan.
Mas Yudi kemudian menjawab sambil cengengesan, "Maaf Pak, pake bahasa Indonesia aja, ga doong bahasa sunda.".
"Loh emang dari mana??", tanya bapak polisi.
"Dari Jogja Pak, tapi tinggal di Jakarta." jawab mas Yudi.
Bapak polisi tersebut kemudian merevisi perkataannya, dan kemudian menjelaskan alasan kenapa doi mencegat kami, yaitu karena saya memakai helm yang bukan standar, walaupun mas Yudi yang memboncengkan saya memakai helm standar. Saya dan mas Yudi spontan mengeles tidak tahu peraturan tersebut karena kami bukan warga native Bandung [alesan bookkk =D]. Kemudian pak polisi meminta SIM dan STNK kami, dan kebetulan SIM mas Yudi tertera alamat Jogja, sehingga cucok dengan alasan kami. Namun sialnya, ternyata STNK motor mbak Nia menunjukkan kalo motor tersebut telat pajaknya, sehingga hal tersebut dijadikan oleh bapak polisi tersebut alesan untuk menahan SIM mas Yudi.

Bapak polisi kemudian mengeluarkan surat tilang dan berkata kalo pengadilannya akan berjalan beberapa minggu dari tanggal kami tertilang. Untuk kali ini, kami sedang tidak bernepsong dengan sidang, secara ini bukan kota kami, dan kami tidak tinggal disini. Mas Yudi kemudian bernego dengan bapak polisi tersebut dan mengatakan kalo seminggu lagi dia harus berangkat menunaikan tugas negara di Belitung [alesan lagi boookk =D] dan bernego apakah bisa "jalan damai". Bapak polisi kemudian mengatakan 40 ribu untuk jalan damai. Lalu setelah mas Yudi dan saya berkasak-kusuk sambil merogoh saku celana kami, didapatkanlah uang 25 ribu. Kemudian mas Yudi bernegosiasi kembali dengan bapak polisi dan walaupun pertamanya bapak polisi tersebut keberatan dengan jumlah uang tersebut, namun akhirnya beliau pasrah dan melepaskan kami beserta surat-surat kami seraya menasehati agar lebih tertib dalam berkendara. Ini merupakan yang kesekian kalinya saya menerima nasehat dari polisi dan kesekian kalinya nyang-nyangan harga tilang dengan polisi. =D

Bukannya segera beranjak pergi dati TKP, mas Yudi malah masih menanyakan kepada pak polisi dimana tempat makan yang enak di dekat lokasi tersebut. Dan bapak polisi itu dengan semangat 45 menjelaskan berbagai tempat kuliner di dekat lokasi pencegatan itu. (--") Enough with the sundanese police, kami segera melanjutkan perjalanan kami sambil ngakak-ngakak mentertawakan kesialan kami. =))


**********


Entah kenapa, tiba-tiba saya teringat dengan ketiga kejadian yang menarik ini. Menarik karena ternyata 3x ini saya menyebabkan kesialan terhadap teman-teman saya. Dan menarik karena 3x ini terjadi di 3 kota yang berbeda. Apapun pandangan para pemirsa tentang ini terserah, saya cuma mau bercerita 3 kisah yang sangat berkesan bagi saya dan tidak akan terlupakan ini. Ditilang polisi di 3 kota yang berbeda. =D

Pesan moral : Hati-hati bila memboncengkan saya, karena kesialan bisa datang tanpa diduga-duga. =D

4 comments:

fika mengatakan...

doreng opo toh mak,artine?*bener ga ya boso jowokyu?*ngarang bebas.aku taunya loreng..di jakarta blm prnh ya?pasti kenanya lbh mehong deh.untung rmh kt jawara ya nek jd tinta bisul boncu2an :p

tuanputriburukrupa mengatakan...

@fika ahaha,,doreng means motif loreng-nya tentara gitu bookkk..dulu setim hobi bembi pake gituan, dr motip doreng Pentagon, motip operasi badai gurun, sampe perang vietnam n hansip. hahaha..
Eikye pernah kena di Bundaran HI, tp pake mobil, n lagi2 eikye yg duduk di samping pak supir..sial bgt.. --"
Untung tinta kena rajia satpol PP..

fika mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
@kbR mengatakan...

mwahaha :))
berarti aku sing paling ampuh, iso nawar nganti 10 ewu :D