How To Be A Veterinary Surgeon For Dummies [part 2] ~ "I'm just a leaf,not a flower"
How To Be A Veterinary Surgeon For Dummies [part 2] | "I'm just a leaf,not a flower"

Kamis, 24 November 2011

How To Be A Veterinary Surgeon For Dummies [part 2]


Masih kelanjutan di hari senin itu, malam harinya drh. Rifka mendapat pasien seekor kucing kampina hasil rescue yayasan penyayang kucing yang patah [fraktur.red] bonggol tulang paha kanannya. Malam itu juga kucing tersebut dix'ray dan distabilkan kondisinya karena kucing tersebut tidak mau makan. The next day, akhirnya dijadwalkan dan diputuskan bersama dengan "pemilik" kucing tersebut agar hari Rabu dilakukan operasi untuk menangani fraktur tersebut. 


Fraktur pada caput femoris [sebelum operasi]. 
Lingkaran kuning : Bonggol [caput] yang patah dan fragmen tulang femur [paha].



Secara teori dengan gambar x'ray demikian, saya nantinya tinggal mengambil bagian kecil yang patah itu, kemudian menghaluskan bagian fragmen yang tersisa dan menutup otot dan kulit pembungkusnya kembali. Teknik yang cukup mirip dengan yang saya lakukan kemarin Senin kepada anjing Prada. Bedanya untuk kasus kucing ini, saya tidak membutuhkan pahat dan pukul besi, karena bagian yang hendak dihilangkan sudah patah, jadi saya tinggal mengambilnya saja. Selain itu, dengan postur tubuh kucing 2,5 kg yang jelas jauh berbeda dengan postur anjing Husky 16 kg, kemungkinan besar saya tidak perlu mengerahkan banyak tenaga untuk menarik-narik dan memukul-mukul pahat. Yeah, itu teorinya!! Namun apa yang terjadi di dunia nyata??



Hari Rabu kemarin, kebetulan yang jadi paramedis adalah si Fajar dan partner saya pagi itu adalah drh. Tika. Kedua co-operators yang berbeda dari operasi hari senin yang lancar jaya. Kebetulan saya belum pernah operasi semacam ini bersama mereka. Sejarah operasi bersama mereka adalah operasi yang disertai kejadian konyol dan kejadian-kejadian di luar dugaan. Pernah saya operasi amputasi kaki kucing yang diselimuti belatung bersama mbak Tika, dan pada saat itu operasi tersebut dipenuhi jeritan-jeritan kecil kami akibat belatung-belatung yang berjatuhan [bisa ribuan mungkin kalo dihitung belatungnya], dan gelak tawa mentertawakan kejadian-kejadian konyol sepanjang operasi. Daaaaaaaannnnnnn,,, hal-hal tersebut sepertinya berulang di hari rabu kemarin.




Seperti operasi sebelumnya, saya sangu beberapa retraktor wannabe hadiah dari JQ. FYI: saat menghadiahi saya dengan retraktor tersebut, beliau juga memberi saya beberapa buah pin tulang, beberapa buah baut [screw.red] kecil-kecil berbagai ukuran, kawat [wire.red], plat tulang, dan kesemuanya itu dibuat dari bahan stainless-steel. Namun berhubung saya hanya membutuhkan retraktor saja, maka hanya alat itulah yang saya bawa ke klinik pagi itu. Setelah menyiapkan Chiko, sang pasien kucing, kami bertiga kemudian menyiapkan alat-alat bedah standar, retraktor wannabe, sendok spesial bikinan mas Koy, dan gerinda besi pertukangan yang rencananya akan kami gunakan untuk menghaluskan tulang yang tersisa. Selain itu tak ketinggalan perlengkapan e-book seri "How to be a Veterinary Surgeon for Dummies" saya persiapkan juga di ruang operasi, lengkap dengan gambar step-by-step nya.




Tiba saatnya operasi dimulai, Chiko kami bius, dan kali ini hanya mengandalkan biusan suntik perenteral saja, tanpa memakai mesin anastesi. Oiya, patut saya infokan, kaki yang dioperasi adalah kaki kanan, sedangkan kaki yang ada di gambar e-book "Color Atlas of Surgical Approaches to the Bones and Joints for dogs and cats" adalah kaki kiri. Oh nooooooooo,, melihat hal tersebut, jiperlah saya. Hal tersebut berlanjut saat saya melakukan incisi pertama. Incisi pertama saya lakukan dan saya mulai membuka layer pertama otot, dan apa yang terjadi....oh nooo, saya kehilangan orientasi. Saya kebingungan menentukan otot mana yang harus diangkat ato otot mana yang harus dibiarkan saja. Saya kemudian melihat gambar step-by-step di komputer, dan tambah kebingungan lah melihat gambar tersebut, karena selain kaki yang tergambar adalah kaki kiri, kaki tersebut juga merupakan kaki anjing, bukan kaki kucing. Dan baru saya sadari, ternyata kaki anjing dan kucing itu agak berbeda susunan otot-ototnya. Jiaaaahhhhhh... (T.T)




Mbak Tika kemudian berusaha mengutak-atik gambar dan membuat sedemikian rupa agar kaki yang tampak di gambar mirip dengan kaki kiri, namun tetap saja saya kehilangan orientasi. Saya masih terpaku dengan kesuksesan operasi si Prada yang lalu, dan hal tersebut membuat saya meremehkan kasus ini, yang malah berakibat semua hasil belajar saya semalaman buyar sudah. Dengan susah payah, saya menguak layer otot yang ada, dan dengan alat yang terlalu besar menurut saya. Secara alat bedah standar yang digunakan adalah alat untuk manusia, dan retraktor yang ada sepertinya diciptakan untuk anjing medium.. Alat-alat yang ada malah seakan-akan menutupi area pandangan saya, dan ditambah dengan kepanikan saya karena kehilangan orientasi. Dengan susah payah, akhirnya saya menemukan fragmen badan tulang paha, namun permasalahannya adalah saya tidak menemukan fragmen yang satunya lagi, alias fragmen bonggol. Bukan hanya keringat dingin yang menetes, tapi jantung saya berdebar-debar dengan keras sekali seakan-akan saya over dosis adrenalin. Saya tidak tahu apa yang harus saya perbuat. Mbak Tika dan Fajar juga tampak bingung melihat saya down seperti itu.




Cukup lama saya mengutak-atik area itu-itu juga tanpa hasil, sampai saya mendapat ide. Kenapa ga saya coba untuk sekrup saya fragmen tulang paha ini dengan sisa bonggolnya. Secara teori saya bisa memasukkan screw secara melintang menuju bonggol. Namun dengan ketiadaannya alat Fluoroscopy, maka semuanya itu saya lakukan dengan metode orang buta, alias mengandalkan perabaan saja. Namun ada satu yang menjadi masalah, saya tidak membawa screw saya, alias screw-screw hadiah dari JQ ketinggalan di kost saya. Saya utarakan ide itu kepada mbak Tika dan Fajar, dan mbak Tika pun segera menyuruh saya untuk segera pulang mengambil bahan-bahan itu bila ingin melaksanakan ide saya tadi. Ide yang cukup gila, walaupun kost saya hanya berjarak sekitar 1 km saja dari klinik, tapi kesemuanya itu tetap memerlukan waktu yang lumayan, apalagi mengingat kucing sudah dalam keadaan terbius, dan kucing tidak boleh berada dalam keadaan terbius lebih dari 2 jam, karena suhunya pasti akan menurun drastis, dan membuat kemungkinan hidupnya semakin kecil.




Nekad dengan ide saya, saya dan Fajar bergegas berboncengan naik motor menuju kost, dengan kedua tangan kami masih memakai sarung tangan berlumuran darah. Saya membuka gerbang kost dengan gugup dan segera mengambil bahan-bahan yang diperlukan di kamar saya, dan kembali melompat ke boncengan motor. Sesampai di klinik, mbak Tika tampak sedang mengebiri kucing tersebut, memanfaatkan keadaan bius kucing tersebut. Saya kemudian melepas sarung tangan berlumuran darah, mencuci tangan, dan bergegas memakai sarung tangan yang bersih kembali. Lain halnya dengan Fajar, sesampainya di klinik, dia membongkar tempat penyimpanan alat-alat pertukangan untuk mencarikan saya obeng yang sesuai untuk screw-screw saya. Baru beberapa detik saya memegang klem untuk bersiap-siap melakukan operasi kembali, si Eko paramedis saya yang lain memanggil-manggil saya dan berteriak, "Mbaaakk,,mbaakkk,, Si Omeng mbak!! Itu si Omeng di depan!!" [FYI" Omeng adalah kucing saya yang kabur dari klinik beberapa minggu yang lalu, dan sudah berhari-hari saya mengelilingi kampung untuk mencarinya tanpa hasil --> link].




Mendengar hal itu, semakin melonjaklah adrenalin saya, secara spontan saya langsung berlari dari meja operasi menuju teras klinik demi memastikan apakan benar Omeng yang dimaksud si Eko. Dan ternyata Omeng!! Omeng yang sudah berminggu-minggu saya cari ada di depan klinik. Saya panggil namanya, namun tampaknya dia takut dan trauma kepada saya, sehingga dia malah berlari menghindari saya. Saya kejar si Omeng, dan Omeng pun berlari menuju rumah tetangga depan. Berhubung Omeng gendut, saya dapat menangkap perutnya, namun pada saat saya angkat badannya, dia meronta-ronta dan mencakar-cakar saya dan terpaksa saya melepaskan pegangan saya tersebut. Omeng akhirnya kabur masuk ke rumah tetangga depan. Hasrat hati ingin mengejarnya, tapi saya teringat saya ada pasien operasi tergeletak di meja operasi, sehingga saya bergegas masuk kembali ke ruang operasi dan mencuci tangan saya. Maafkan saya Omeng, duty calls..hiks.. (T.T)




Sekembalinya saya di meja operasi, mbak Tika sudah selesai mengebiri Chiko. Saya kemudian kembali memfokuskan perhatian kepada fragmen tulang yang tadi, tapi masih aja ada kendala... Bagaimana cara memasukkan screw tersebut ke fragmen. Secara bor yang kami punyai ukurannya terlalu besar bagi pin tulang kami, dan screw tersebut ternyata masih terlalu besar bagi fragmen tulang si Chiko. Sialllll..siallll...
Dengan putus asa saya berkata kepada mbak Tika, "Gimana kalo ini kita tutup dulu aja, ntar kita cari ato pinjem alatnya ke tetangga, trus ntar kita bius lagi??"
Mbak Tika tidak menyetujui namun juga tidak menolak usul saya tersebut. Dengan penasaran, dia mengutak-atik hasil karya saya yang sudah saya hancur-leburkan otot-ototnya. Saya kemudian juga menjadi tertarik melihat hasil karya saya dari sudut pandangnya, secara selama operasi tadi kami selalu berhadapan, alias saya melihat dari sisi kebalikan dari beliau. Saya kemudian ikut mencolak-colek menggunakan klem lubang yang saya buat tadi, dan tanpa diduga, entah datang dari mana....tiba-tiba tampaklah bentukan putih bonggol tulang yang kami cari-cari dari tadi. Semangat saya, mbak Tika, dan Fajar menjadi membuncah kembali. Si bonggol sudah keluar dari persembunyiannya. Dengan mantab saya mengorek-ngorek lubang yang saya buat tadi, lalu mbak tika membantu menjepit bonggol yang muncul-sembunyi-muncul-sembunyi tersebut, dan Fajar membantu menguakkan kembali otot-otot di sekitarnya menggunakan retraktor. Daaaaannnnnn, kerjasama yang apik dan keberuntungan ternyata membuahkan hasil. Bonggol tulang paha berhasil dikeluarkan dari tempatnya. Horeeee!!!! Kami bertiga berseru kegirangan. Sekarang tinggal menghaluskan sisa fragmen yang tajam menggunakan gerinda besi. Oh boy, I love the sound saat gerinda besi menyentuh permukaan tulang tersebut. Bagaikan menjadi si Dexter, tokoh psikopat yang ada di salah satu serial yang ditayangkan di Fox Crime. =D




Setelah itu semua euforia agak lerem, saya kemudian menjahit kembali otot-otot yang saya obrak-abrik tadi, dan kemudian mbak Tika menjahit kulit bekas incisi acak-adut saya tadi. Dan setelah semua proses selesai, saya mengukur temperatur tubuh si kucing, dan ternyata di termometer tampak suhu kucing hanyalah 32,7 derajat celcius. HIPOTHERMY!! Oh nooooo... Masa kritisnya dimulai dari saat itu....




Perkembangan hari ini:
1. Kucing Chiko sudah siuman 100% dan sudah mau makan dengan lahap.
2. Suhu badan Chiko sudah normal kembali dan tidak demam, sehingga kemungkinan besar tidak ada komplikasi post operasi.
3. Infus sudah dicopot, karena sudah mau makan.
4. Chiko sudah bisa berdiri dengan 4 kaki, dan berusaha berjalan, walaupun lalu kembali jatuh. That means, Chiko kagak lumpuh boookkk walaupun otot-ototnya sudah modal-madul. =D


Tulang panggul [Hip] kucing Chiko post operasi.
Lingkaran kuning : Caput femoris sudah diambil, tinggal sisa fragmen tulang femur [paha]



Pesan moral :
1. Jangan takabur terhadap kesuksesan hari ini dan jangan meremehkan sesuatu yang kelihatannya mudah, karena hari esok memiliki kesulitannya sendiri!!
2. Be creative is a must!!
3. Ortopedi kagak ade matinyee bookkk!!
4. Ada yang bilang, "Dokter bedah wanita tidak cocok untuk Ortopedi, karena membutuhkan fisik dan keahlian menukang.". Nah pertanyaannya adalah, apakah masih relevan pernyataan tersebut??!!
5. Partner anda adalah segalanya bagi anda, terutama di saat-saat harapan tampak menjauh, he/she always has ur back. 




Fun Fact: 
Ada sebuah serial film yang sangat tidak disukai oleh saya dan mbak Tika, berjudul "Off The Map". Ceritane tuh film itu mo jadi semacam "Grey's Anatomy"-nya versi di pedalaman. Nah di dalam salah satu scene-nya ada yang menurut kami ga masuk akal, yaitu di tengah-tengah operasi, si dokter bedahnya pergi meninggalkan meja operasi bersama asistennya untuk memanjat pohon kelapa dan memetik buah kelapa yang digunakan sebagai pengganti cairan darah. Menurut saya dan mbak Tika adegan tersebut sangat tidak masuk akal, masak di tengah-tengah operasi, pasiennya ditinggal untuk manjat kelapa. Ga masuk akal banget kan??!!
TAPIIIIII... Yang kami lakukan hari ini lebih ga masuk akal ternyata sodara-sodara. Dari saya dan Fajar mengambil sekrup di tengah-tengah operasi, kemudian saya mengejar-ngejar kucing garong bernama Omeng di tengah-tengah operasi, sampai mbak Tika yang pada saat saya tinggal mengambil sekrup ternyata beliau sempat-sempatnya melayani konsultasi klien dan membuatkan resep untuk pasien. Wow...Kami lebih ga mutu dan ga masuk akal!! (--") But, that's the real life of a Vet dudes!!




Lalu, bagaimana dengan kisah si Omeng?? Kelanjutan kisah si Omeng akan ada di postingan berikutnya.. ;)

1 comments:

Anonim mengatakan...

Halo Mbak
Baca postingannya Mbak, saya jd keinget cita-cita saya jaman SMA mau jadi dokter hewan. Sekarang saya tau kenapa jalan saya nggak ke situ. Haha, ngga kuat kayanya deh saya. Baca ini saya jg jd mikir veterinarian itu juga seperti profesi lainnya. Kadang di lapangan (atau dalam hal ini, kamar operasi) bisa ketemu hal2 yang ngga dibayangkan yg bikin kita ketar-ketir. Manusiawi sekali yah.

Oya, kemarin rencananya saya kan pengen mampir klinik Mba, mau bawa anjing saya. Tapi apa daya, ternyata anjing saya udah keburu pergi duluan. Hehe.

Keep on posting ttg days in a vet life ya Mba. ^^